OH PAHLAWANKU, WAHAI ANAK-ANAKKU
Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya.
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu.
Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku
aku takut anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-jahamu remaja
– horizon yang selalu biru bagiku-
karena ku tahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
(Hartojo Andangdjaja)
”Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian pagi ini? ”
sapa bu guru dengan ramah dan suara lembut penuh keibuan, saat pertama kali memasuki ruang ujian itu.
”Selamat pagi Bu,” jawab anak-anak serempak dengan penuh hormat karena saat menyapa itu bu guru sambil tersenyum ikhlas.
”Ibu yakin kalian pasti sudah siap menyelesaikan soal hari ini. Kenalkan saya adalah Bu Idju dan ini adalah Pak Dwijo. Kami adalah petugas sebagai pengawas ujian di ruang ini dan bersama kalian, kita akan sama-sama bekerja dan berjuang demi kebaikan kita semua dengan selalu saling menghormati,” lanjut Bu Idju dengan senyum bersahabatnya. Dengan trampil dan luwesnya Bu Idju dan Pak Dwijo pelan-pelan, satu-persatu membagikan soal ujian dan perangkat lainnya pada murid-murid yang masih terlihat tegang dan resah meskipun bu Idju sudah berusaha menyapanya.
”Sudahlah anak-anak, jangan tegang begitu, cool and fresh sajalah…..ya. Mudah-mudahan kalian hari ini bisa mengerjakan semua soal dengan baik, syukur kalau semuanya benar,” hibur bu guru sambil terus membagikan naskah soal.
”Amin………….. ,” seperti koor, suara murid sambil menadahkan kedua tangan dan diteruskan dengan berdoa masing-masing. Sambil terus menuntaskan pekerjaan membagi naskah soal itu, bu guru berdzikir dan bertasbih pada Allah agar apa yang dia kerjakan ini sebagai bagian dari pengabdian dan penghambaan pada Illahi karena yang dihadapi dalam ruang ini adalah peserta ujian, murid-murid, anak-anak, yang juga dia anggap seperti anaknya sendiri. ”Subhanallah walhamdulillah walailahailallah hu allahhuakbar”, begitu dia berdzikir dalam hati melafalkan tiga kata itu dalam setiap langkah kaki dan irama lengan tangan saat meletakkan naskah soal dari meja satu, dua, tiga, sampai meja kedua puluh tempat para siswa juga bertafakkur seolah mendengarkan dzikir bu guru.
”Anak-anak soal sudah di depan kalian semua, demikian pula lembar jawabannya,” kata bu guru dengan suara berwibawa tapi masih tetap bersahabat. ”Kita masih menunggu tanda dimulainya mengerjakan. Kita selesaikan dulu mengisi identitas kalian di lembar jawaban, jangan ada yang salah dan baca sekali lagi sebelum kalian putuskan bahwa semua data isian itu sudah benar. Kalau ada yang masih kurang jelas silakan tanyakan pada kami, ”
kata Bu Idju sambil melihat arloji yang mulai tampak kusam.
”Ok…. anak-anak tanda mulai mengerjakan sudah dimulai, kerjakan dulu soal yang mudah ya”.
Dengan desah nafas sangat dalam bu guru mulai mengedarkan daftar hadir untuk ditanda tangani peserta ujian. Ia melangkah pelan-pelan dan hati-hati agar langkah kakinya tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu konsentrasi murid. Seandainya dia diciptakan mampu memiliki ilmu meringankan tubuh seperti film-film silat mandarin, pasti akan ia lakukan demi ketenangan suasana ujian. Dia sangat paham bahwa ketenangan dan keheningan dibutuhkan saat-saat seperti ini. Kalau perlu siapapun tidak boleh sembarangan memasuki ruang yang dia awasi tanpa tujuan yang jelas, apalagi sekedar ”melihat-lihat”, lagi pula ini bukan untuk dilihat-lihat. Pengawas ruang memiliki kewenangan penuh atas tugas di ruangnya. Konsentrasi, keamanan, dan ketenangan murid adalah segala-galanya. Itu adalah salah satu bunyi kesimpulan dalam Prosedur Operasional Standar (POS) yang selalu dia ingat. Dua tahap telah dilalui oleh Bu Idju pada pagi itu, yaitu membagi naskah soal dan melakukan presensi hadir peserta ujian.
Saatnya kini Bu Idju dan Pak Dwijo melakukan tugas tahap ketiga, setelah kurang lebih lima belas menit melakukan tahapan tugas sebelumnya, yaitu duduk manis di bagian depan dalam kelas yang biasanya satu trap lebih tinggi dari lantai tempat duduk siswa untuk ”menemani anak-anaknya” berjuang meraih cita dan citranya. Waktu bergulir dan bergerak terasa sangat lambat bagi Bu Idju duduk seperti ini. Saat dan situasi pada tahap ketiga ini dirasakan sangat berat. Pada satu sisi harus menjaga kewibawaan kebijakan yang telah dituangkan dalam berbagai aturan termasuk dalam POS, tetapi pada sisi lain dia juga menyadari bahwa wajah-wajah resah di depannya adalah ”anak-anaknya”.
Dia membayangkan kalau sampai lembar jawaban yang, nota bene dikoreksi oleh malaikat yang bernama komputer – dan itu berarti tidak pilih kasih dalam menyalahkan, membenarkan, dan menghitung nilai – banyak yang kosong alias tidak bisa dijawab yang pada akhirnya sampai anak-anaknya banyak yang tidak lulus maka betapa sedihnya anak-anaknya itu dan juga keluarganya, lebih-lebih bagi Bu Idju sendiri. Dengan kewaspadaan yang tinggi, dan dengan tatapan mata kosong Bu Idju menerawang jauh melambungkan pikiran dan hatinya mengadu pada Tuhannya. Pelan-pelan pelupuk mata Bu Idju memerah dan mulai kelihatan kembang-kembang air mata. Setengah terisak Bu Idju mendengar suara lantunan :
Padamu negeri kami berjanji.
Padamu negeri kami mengabdi.
Padamu negeri kami berbakti.
Bagimu negeri jiwa raga kami.
Sebagai wanita, Bu Idju bisa merasakan bahwa wajah-wajah resah, tegang, dan lelah itu berhari-hari, berminggu-minggu, dan bahkan berbulan-bulan hati dan perasaan mereka telah diteror oleh sosok hantu yang bernama ujian. Ujian nasional. Sosok makhluk abstrak tapi nyata yang sangat dibenci oleh ”anak-anak” ini, meskipun mereka tunggu-tunggu dengan cemas, telah menggerogoti pikirannya sejak mereka mengakses di internet, melihat di telivisi, dan diberitahu oleh gurunya. Sejak itu mereka mulai gelisah. Takut menghadapi soal yang dibuat lintas tiga kurikulum, sementara selama mereka dibelajarkan dengan satu kurikulum. Takut tidak memiliki peluang nyontek pekerjaan temannya karena paket soal dirancang tidak sama yang dibagikan bersilang, kiri kanan, muka belakang. Takut tidak bisa nolah- noleh pada temannya di ruang ujian karena diawasi oleh pengawas dari guru lain sekolah. Takut nilai hasil ujiannya tidak mencapai standar minimal yang disyaratkan. Takut tidak lulus dan harus mengulang tahun berikutnya karena tahun ini tidak ada ujian ulang. Sosok menakutkan itu sangat dipercaya kebenarannya oleh anak-anak karena cerita tentang semua ”kriteria” keberadaannya didengar secara langsung di sekolah, di dalam kelas dari guru-gurunya.
Mereka juga mulai kebingungan karena beberapa kali dilaksanakan try out sebagian besar hasilnya selalu di bawah standar minimal, sehingga anak-anak sudah frustasi, tidak berdaya, dan tidak percaya diri lagi untuk menghadapi ”petertempuran” dengan makhluk menakutkan tadi. Belum lagi di antara mereka juga terdapat keluarga yang secara fisik maupun psikis tidak memiliki kemampuan membantu pertempuran mereka. Mereka merasa benar-benar sendirian. Bu Idju juga tahu bahwa pada detik-detik terakhir menjelang pertempuran ada sebagian anak-anak berwajah kuyu yang duduk berderet di depannya ini ada yang deg-degan karena teman-temannya sudah menerima Kartu Tanda Peserta Ujian, tetapi dirinya belum memiliki kartu itu karena ada ”persyaratan administratif ” tambahan di luar ketentuan POS sebagai kebijakan sekolah sebagai salah pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang belum bisa diselesaikan, meskipun pada akhirnya kartu itu diberikan juga sebelum pelaksanaan ujian dilaksanakan.
”Maaf Bu Guru, soal nomor 13 cetakannya kurang jelas ”, kata anak yang duduk di bangku deretan tengah. Lamunan Bu Idju terhenti dengan pertanyaan anak itu. Dengan tenang tanpa membuat kegaduhan dan dengan ”akting” yang simpatik Bu Idju segera menarik soal itu dan menggantinya dengan soal yang baru setelah koordinasi dengan panitia. ”Anak-anak waktu kalian masih panjang, masih empat puluh menit lagi”, kata Bu Idju mengingatkan dengan suara bijak keibuan. Setelah itu Bu Idju duduk kembali seperti semula. Diam dan tenang.
Kembali dia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia melakukan sesuatu yang menyebabkan kegaduhan, kecurigaan, dan kecemburuan peserta ujian. Pasti itu akan membuat konsentrasi anak-anaknya terganggu, kesal, dan bahkan putus asa. Bu Idju menahan diri untuk beranjak dari tempat duduknya sekedar cari angin di pintu kelas karena rasa kantuknya, atau ke kamar kecil karena urusan ”pribadi” yang sangat penting. Apalagi sampai harus say hello, atau bahkan sempat bincang-bincang dengan pengawas lain berbeda ruang ujian. Ditahannya selama di ruang itu untuk tidak coba-coba menyentuh hand phone yang ada di dalam tasnya. Meskipun ia tahu dari nada getar bahwa ada beberapa panggilan atau sms yang masuk.
Sebenarnya ia ingin sekali menelpon rumahnya mengecek apakah anaknya yang sedang belajar di T.K sudah pulang atau belum, karena khawatir akhir-akhir ini televisi dipenuhi dengan berita penculikan balita. Bu Idju juga ingin menghubungi pihak tata usaha sekolah tempat dia mengajar meski lewat sms untuk menanyakan kejelasan usulan kenaikan pangkat yang belum kelar. Semua itu ditahannya untuk tidak dilakukan semata-mata karena ingin ”menghargai” anak-anaknya sebagai perwujudan ikut handarbeni atas situasi kejiwaan yang ada. Di samping itu Bu Idju juga harus menanamkan keteladanan untuk patuh dan menghormati aturan yang ada. Karena sebagai pengawas pun ia terikat dengan ketentuan yang telah disampaikan berulang-ulang oleh kepala sekolahnya maupun oleh kepala sekolah tempat dia mengawasi dalam rapat pengarahan sebelum pelaksanaan ujian.
Sambil berbisik lirih Pak Dwijo memberitahu Bu Idju bahwa ada dua peserta ujian yang mencoba saling memberitahukan jawaban soal dengan bahasa isyarat karena tempat mereka saling berjauhan. Dengan bijak dan santun Bu Idju memberi isyarat kepada dua anaknya itu dengan meletakkan telunjuk jarinya di antara dua bibirnya yang tertutup. Dengan ”aura” dan citra diri yang berwibawa itu kedua anaknya diam dan kembali mengerjakan soal.
”Ibarat orang berperang, saat inilah kita sedang bertempur”, kata Pak Sudiro sebagai ketua subrayon saat memberi pembekalan kepada para pengawas ujian. Pak Sudiro melanjutkan, ”Cuma sayangnya musuhnya adalah peserta ujian, murid-murid kita, dan itu berarti adalah anak-anak kita juga. Karena itu kita harus bijak dan bisa menempatkan diri. Senjata boleh kita kokang dan arahkan kepada anak-anak. Kalau dirasa ada pelanggaran dan perlu menembak, beritahu dulu bahwa Bapak/Ibu pengawas ini mau menembak, kemudian ”ditakut-takuti” akan ditembak, bila tidak mempan silakan diberi tembakan ke udara sebagai peringatan, masih juga anak-anak kita itu bandel bisa ditembak dengan menggunakan peluru karet. Bila masih saja melanggar maka Bapak/Ibu bisa menggunakan peluru tajam. Tapi ingat bahwa menggunakan peluru tajam sebagai langkah terakhir dan mematikan harus seijin saya dulu, karena sayalah komandan yang pegang kendali”, kata Pak Sudiro memberi perumpamaan. Dengan perumpamaan itulah Bu Idju mencoba mengatasi hal yang paling sulit dihadapi seorang pengawas saat melaksanakan tugasnya.
”Anak-anak waktu telah habis, silakan teliti yang terakhir kalinya pada semua bagian yang harus kalian isi di lembar jawaban, setelah itu tinggalkanlah ruang ini. Tinggalkanlah naskah soal dan lembar jawaban di bangku masing-masing”, merdu suara Bu Idju mengagetkan anak-anaknya untuk segera meninggalkan ruang ujian. ”Alahmdulillah hi robbill alamin”, kata Bu Idju lirih sambil menghela nafas panjang seolah-olah terbebas dari beban yang sangat berat. Dengan tenang, teliti, dan hati-hati Bu Idju dan Pak Dwijo mengumpulkan lembar-lembar naskah jawaban dan naskah soal dengan tak henti-hentinya melafalkan kalimat hamdalah dalam hati karena pekerjaan berat hari ini bisa dilalui dengan baik.
Pada saat Bu Idju menyerahkan hasil kerjanya di ruang pengawas, ternyata teman-teman guru yang lain sudah berada di ruang itu. Mereka gaduh dan, ribut, bahkan ada yang histeris menjerit atas apa yang mereka saksikan di layar televisi yang ada di ruang itu. ”HARI TERAKHIR UNAS BERAKHIR RICUH”, demikian Headline News di salah satu stasiun televisi sedang menyiarkan liputan terjadinya pemukulan terhadap pengawas ujian oleh sebagian siswa, bahkan juga perusakan kaca dan jendela sekolah. Ditayangkan juga dua orang pengawas yang dievakusai dari kamar mandi oleh petugas keamanan karena dikepung oleh siswa-siswa yang ngamuk. Dalam berita itu dijelaskan bahwa kejadian itu dipicu ketidakpuasan siswa yang merasa dirugikan oleh ketatnya pengawasan yang dilakukan pengawas ujian di ruang mereka. Bu Idju dengan wajah merah menahan haru dengan cepat menyelesiakan urusannya dan segera keluar dari ruang pengawas. Untuk kesekian kalinya Bu Idju mengucapkan kalimat hamdalah dan beristighfar.
Sambil berlalu dari uang itu Bu Idju masih bisa mendengar komentar temannya. ”Wah siswa – siswa ini bila lulus layak masuk ke kampus Jatinangor,” kata guru yang sejak awal menyaksikan tayangan itu. ”Edyaan.. ini benar-benar edyaan, ada murid yang sudah tega-teganya memukul guru, dan merusak sekolahnya sendiri, walah biyung…. walah Gusti paringi slamet, mudah-mudahan itu tidak terjadi di sini,” sela bu guru yang berjilbab gemetaran dan cepat-cepat minum air putih.
”Bisa jadi berita ini memang benar, tidak mungkinlah sampai ada murid yang mentolo ngantem kayak gitu kalau tidak ada sebab musababnya, apalagi hari terakhir ini kan ujian bahasa Inggris yang di dalamnya ada ujian listening yang benar-benar perlu konsentrasi dan ketenangan”, celetuk pak guru yang tambun sambil memegang kotak kue konsumsi. ”Ah… sampean semua keliru ”,
kata guru yang mulai tadi terlihat tenang-tenang saja. ”Coba mari kita cermati berita tadi, kejadian dan keberanian siswa-siswa kan karena mereka selama ini diajari pencak silat di sekolahnya”, seloroh guyonannya sambil tertawa. ”Tapi hebat loh, dia mendapat
”penghargaan sebagai pahlawan ” secara langsung dan tiba-tiba, katanya melanjutkan.
Ya, Bu Idju mendengar semua komentar teman-temannya. Bagi dia mencari dan mendebatkan penyebab masalah tidak akan membuat selesai persoalan. Dalam hati dia berdoa agar semua pihak yang terlibat dan terkait dalam persoalan itu segera bertemu dan berbicara dari hati ke hati, berbicara sebagai orang dewasa, antara sesama guru dari dua sekolah, antara guru dan murid layaknya antara orang tua dan anak, berbicara dengan menggunakan bahasa pendidikan, serta berbicara sebagai sesama muslim dengan mewarisi nilai – nilai luhur islami yang selalu saling mengaku bersalah ketika sedang bertikai. Dalam perjalanan pulang di atas motor ngampung nunut teman searah perjalanan lagi-lagi Bu Idju mendengar lantunan nan jauh dari relung dadanya:
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
S’bagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa.
Djup, Pasca Unas SMA, April 2007,