Tidak dipungkiri, meski saat ini kita hidup dalam era digital dan kesejagatan, tetapi pada sebagian masyarakat Indonesia masih ada saja yang mempercayai bahwa dukun adalah sosok yang bisa dimintai jasa untuk kepentingan tertentu. Wikipedia menyebutkan bahwa “dukun adalah seseorang yang membantu masyarakat dalam upaya penyembuhan penyakit melalui tenaga supranatural”. Meski Wikipedia hanya merumuskan dukun untuk kepentingan penyembuhan penyakit, tetapi dalam kenyataannya di Indonesia, selain dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit (fisik maupun psikologis), jasa dukun juga dimanfaatkan untuk kepentingan promosi jabatan (karier/vokasional), memperoleh jodoh (sosial), bahkan memperoleh kepandaian intelektual dan kesuksesan dalam belajar (akademik). Tidak menutup kemungkinan ada seseorang yang ingin lulus Ujian Nasional atau Sidang Sarjana, bukannya belajar secara sungguh-sungguh tapi malah pergi ke dukun.

Pengetahuan dan keterampilan seorang dukun tidak diperoleh melalui pendidikan formal yang tinggi, karena hingga saat ini sepengetahuan saya, di Indonesia atau mungkin di dunia, belum ada sekolah atau perguruan tinggi yang membuka program studi keahlian perdukunan. Kalau pun ada, mungkin hanya sebatas kursus privat yang sangat terbatas (eksklusif), yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Untuk bisa menjadi seorang dukun tidak diwajibkan menempuh pendidikan formal tertentu. Seorang dukun tidak perlu menguasai komputer, tidak perlu menguasai metode ilmiah, tidak perlu menulis. Bahkan, tidak perlu memahami karakteristik pasiennya, karena dia akan melaksanakan pelayanan dari sudut pandang dia. Oleh karena itu, siapapun pasiennya biasanya akan diberi perlakuan yang sama.

Pelayanan yang diberikan sang dukun kepada pasien (user) hadir dalam berbagai ragam. Meski hampir bisa dipastikan tidak akan pernah ada standar pelayanan dan kompetensi dukun nasional, namun dalam praktik pelayanannya biasanya dilakukan melalui prosedur-prosedur (ritual) tertentu, yang tentunya setiap dukun akan menentukan prosedurnya masing-masing. Diantaranya ada prosedur yang agak masuk akal (logis-rasional), tetapi pada umumnya prosedur yang ditempuh sangat jauh dari akal sehat dan terkesan asal-asalan alias “semau gue”. Jangankan pasien atau orang awam lainnya, mungkin dukunnya sendiri akan mengalami kesulitan jika diminta menjelaskan apa dan mengapa prosedur itu harus ditempuh terutama kaitannya dengan jasa yang diminta. Misalnya, apa hubungannya antara mandi kembang dengan dapat jodoh atau keberhasilan karier, apa hubungannya minuman yang telah dicelupi batu oleh Ponari dengan kesembuhan sang pasien.

Bagaimana dengan hasil yang diterima oleh pasien (klien) atas pelayanan sang dukun? Walaupun ada diantaranya yang merasakan manfaat dari pelayanan sang dukun tetapi sangat sulit untuk diprediksikan apalagi jika harus dijelaskan dan dihitung secara kuantitatif.

Mari kita bandingkan dengan tiga jenis pekerjaan di Indonesia yang saat ini secara yuridis telah diakui sebagai pekerjaan profesional, yaitu: guru, konselor dan pengawas sekolah. Guru dan konselor memiliki sasaran (user) yang sama yaitu siswa (konseli), sementara sasaran (klien) pengawas sekolah adalah guru (personal) dan sekolah (manajerial). Dilihat dari ruang lingkup jasa pelayanan yang diberikan kepada sasaran (user) dari ketiga jabatan tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dukun, yaitu mencakup: pribadi, sosial, karier dan belajar (akademik) dari user masing-masing.

Untuk menyandang ketiga jabatan tersebut harus menempuh pendidikan yang cukup lama, untuk guru sekurang-kurangnya D4/S1, sementara untuk menjadi pengawas sekolah minimal S2 ditambah pendidikan profesi. Dengan pendidikan yang lama, diharapkan dalam dirinya tersedia pengetahuan dan keterampilan yang tinggi tentang bidangnya masing-masing. Mereka dituntut untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur standar yang bisa dijelaskan dan dipertanggung jawabkan secara etik-moral maupun ilmiah. Begitu juga, mereka dituntut memberikan hasil yang pasti dan bisa diprediksi bagi kliennya masing-masing.

Singkatnya, ketiga profesi tersebut dituntut melaksanakan pekerjaan yang tidak asal-asalan dan dengan hasil-hasil yang jelas dan terukur. Jika tidak, lantas apa bedanya dengan dukun?

PEMERINTAH  KABUPATEN JEMBER

DINAS  PENDIDIKAN

SMP NEGERI 2  TANGGUL

Jl. Urip  Sumoharjo  65  Telp.0336 441363  Tanggul

 

RENCANA  PELAKSANAAN  PEMBELAJARAN

 

Mata Pelajaran : Bahasa  dan Sastra Indonesia

Tema                            : Remaja dan Masalahnya

Kelas/Semester            : 7/ Semester 1 ( KTSP )

Aspek                          : Menulis

 

Standar Kompetensi

Mengekspresikan pikiran, perasaan, dan pengalaman melalui pantun dan dongeng

 

Kompetensi Dasar

Menulis pantun yang sesuai dengan syarat pantun

 

Indikator

1). Mampu membuat pantun sederhana sesuai dengan syarat-syarat pantun

2). Mampu membacakan pantun yang telah dibuat dengan lafal dan intonasi yang sesuai.

 

Waktu  :  80 Menit ( 1 x  pertemuan  : 2 JP)

 

1. Tujuan Pembelajaran

    1). Melalui diskusi siswa dapat membuat pantun sederhana  dengan benar sesuai  

          syarat-syarat pantun.

    2). Melalui unjuk kerja  siswa dapat  membacakan  pantun dengan lafal dan  intonasi

         yang benar sesuai isinya.

   

Life skill yang diinginkan dalam KBM ini adalah : menumbuhkan kecintaan dan mengasah bakat  siswa bahwa dengan menguasai pantun bisa digunakan untuk “survive” dalam hidup dan berhasil seperti halnya banyak penyanyi yang berhasil karena melantunkan pantun 

 

 

 

 

 

2. . Materi Pelajaran

1)      Pengertian, ciri, dan jenis pantun

2)      Teks pantun

3)      Contoh penyajian/pembacaan  pantun

 

3. Metode Pembelajaran

             Metode pembelajaran yang digunakan adalah kontekstual

 

4. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran

4.1. Kegiatan Awal

      1). Guru melakukan apersepsi berupa tanya jawab dengan siswa tentang apa yang

            mereka ketahui  tentang pantun dan contoh pantun yang dijumpai dalam kehidupan

            sehari-hari.

      2). Guru memotivasi siswa  bahwa membuat pantun itu mudah dan menyenangkan 

            serta  bila ditekuni dan dikembangkan akan besar manfaatnya..

4.2. Kegiatan Inti

 

1)      Guru membagi siswa dalam kelompok maksimal 5 orang dalam satu kelompok

       sambil memberikan instruksi kegiatan yang harus dilakukan

2)      Guru membagikan amplop/kartu  pertama kepada tiap kelompok siswa. Dalam amplop/kartu tersebut berisi sebuah teks pantun.

3)      Guru memutarkan audio/ audio visual/bernyanyi   sebuah lagu seperti yang ada pada amplop/kartu pertama.

4)      Guru membagikan amplop/kartu kedua kepada tiap kelompok.

5)      Guru memutarkan audio/ audio visual/bernyanyi   sebuah lagu seperti yang ada pada amplop/kartu kedua. Demikian seterusnya sampai dengan amlop/kartu yang keempat.

6)      Dalam kelompok  siswa  mendiskusikan dan mengidentifikasi  ciri dan jenis  pantun     

      berdasarkan  fisik  teks  yang  ada dalam aplop/kartu. Pada saat  yang sama guru

      membagikan   satu contoh pantun yang tidak memenuhi kriteria ciri pantun.

7)      Masing-masing kelompok / atau sampling  melaporkan hasil diskusi tentang ciri dan jenis

      pantun di papan tulis.

8)      Siswa  bersama guru  membahas   laporan yang ada di papan tulis.

9)      Guru memberi  penjelasan  dengan cara bertanya tentang ciri pantun  untuk mempertajam pendapat siswa   pada saat melakukan kegiatan no 8.

10)  Guru memberikan contoh cara membacakan pantun  dengan intonasi yang benar.

11)  Guru menugasi siswa  dalam  kelompok  membuat pantun sesuai dengan  ciri yang telah dibahas, sekaligus cara membaca  dengan intonasin yang tepat. Satu kelompok satu pantun.    

12)  Secara bergiliran mewakili kelompoknya,  siswa  menuliskan pantun di papan tulis yang telah disusun dari kelompoknya, dan membacakan dengan intonasi yang benar.

13)  Secara pleno, guru bersama siswa mendiskusikan  penampilan kelompok.

 

4.3. Kegiatan Akhir

1)      Siswa dan guru merangkum, menyimpulkan  cara  membuat dan membacakan  pantun

2)      Guru bersama siswa menyepakati pantun terbaik yang telah ditampilkan untuk ditempel pada  pajangan kelas.

3)      Guru dan siswa melakukan refleksi untuk merenungkan kembali apa-apa yang mereka alami dalam KBM sebagai imajinasi kehidupan mereka kelak.

 

  5. Sumber Belajar

   1). Pita kaset/ CD lagu

   2). Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

 

6. Evaluasi

1)      Tes                   : berupa  tes tulis uraian objektif, penekanan pada ketepatan penempatan

                                sampiran ,isi, persajakan dan isi sesuai dengan tema  yang ditentukan

2)      Nontes             : berupa pengamatan di kelas saat KBM berlangsung yaitu aktivitas 

                                      kegiatan diskusi siswa, diarahkan pada  kecepatan, kecermatan,

                                      kemampuan bekerjasama,  dan  sikap dalam penyelesaian kerja kelompok

 

 

 

 

 

1. INSTRUMEN  PENGAMATAN

 

NO

Nama Siswa/Kelompok

Aspek

Kecepatan

Kecermatan

Kerjasama

Sikap

 

BS

B

SD

K

BS

B

SD

K

BS

B

SD

K

BS

B

SD

K

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

      BS = Baik Sekali,    B =  Baik,   SD= Sedang,   K= Kurang

 

 2. SOAL  URAIAN

1.      Jelaskan syarat-syarat pantun!

2.      Apa fungsi sampiran dalam pantun?

3.      Selesaikan pantun  cinta berikut  ini

 

Kapal api kapal udara

Kapal selam main kitiran

 …………………………………………

……………………………. …………..

 

 

 

 

 

 

 

4.      Buatlah  sebuah pantun yang berisi perkenalan dengan teman baru.

 

 

PEDOMAN PENILAIAN SOAL URAIAN

 

NO SOAL

Kata/ Frase Kunci Jawaban

Kriteria  Penskoran

Skor

Bobot

1

Syarat pantun

1.harus ada sampiran, dan isi. 2.Biasanya terdiri atas 4 baris

3.Pola sajak a-b, a-b

a. Dijawab 3 benar

b. Dijawab 2 benar

c. Dijawab 1 benar

d. Dijawab salah

6

4

2

0

15

2

Fungsi Sampiran

Sebagai pendahuluan/pengantar menuju ke isi pada baris 3 dan 4, bisa berisi dunia binatang, alam, tumbuhan, dan benda atau keadaan lain

a. Dijawab benar

b. Dijawab sebagian 

    besar  benar

c. Dijawab sebagian kecil

    benar

d. Dijawab salah

6,1 – 8

4,1 – 6

 

2,1 – 4

 

    0 -2

20

3

Bukan famili bukan saudara

Tiap malam jadi pikiran

a. Dijawab benar

b. Dijawab sebagian

    besar  benar

c. Dijawab sebagian kecil

    benar

d. Dijawab salah          

6,1 – 8

4,1 – 6

 

2,1 – 4

 

   0 -2

30

 

 

 

4

Pantun yang isinya menggambarkan

persahabatan, dengan memperhatikan jumlah baris, rumusan sampiran, rumusan isi, dan pola sajak yang

benar

a. Dijawab benar

b. Dijawab sebagian

    besar  benar

c. Dijawab sebagian kecil

    benar

d. Dijawab salah

6,1 – 8

4,1 – 6

 

2,1 – 4

 

   0 -2

35

 

Tanggul, 12  September  2006

Mengetahui                                                                                          Guru Mata Pelajaran

Kepala Sekolah                                                                                     

 

 

Didik Supriyadi, S.Pd, M.M                                                                    Drs.Djupriyanto, M.Si

NIP.131 122848                                                                                     NIP. 131 417 448    

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KARTU  2

(Lagu Ayam Jago)

 

Ayam jago jangan diadu

Kalau diadu merah jenggernya

Baju hijau jangan diganggu

Kalau diganggu marah pacarnya

 

Surabaya berupa-rupa

Sapu tangan jatuh di lumpur

Igin lupa tak bisa lupa

Lupa sebentar di waktu tidur

 

Berburu ke padang datar

Dapat rusa belang di kaki

Berguru kepalang ajar

Bagaikan bunga kembang tak jadi

 

Kalau hendak pergi berlayar

Blanak beli hiu  pun beli

Kalau hendak pergi belajar

Bapak dicari Ibu dicari

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kartu 3

( lagu  Injit-injit Semut)

 

Kalau pergi kota Palembang

Naik prahu  kembang layarnya

Boleh bertanya abang

Adik manis siapa yang punya

 

Bunga mawar bunga cempaka

Kumbang jantan si kumbang janti

Kalau belum ada yang punya

Abang  kini masih sendiri

 

(injit-injit semut siapa sakit naik di atas

injit-injit semut walau sakit jangan dilepas)

 

Minum kopi cangkirnya biru

Tinggal dingin air ditakar

Bila hati sudah menyatu

Tinggal adik kapan dilamar

 

Sungguh indah pulau seribu

Debur ombak sampai daratan

Tidak apa kalaulah ragu

Jantung  hati terbang di tangan

 

(injit-injit semut siapa sakit naik di atas

injit-injit semut walau sakit jangan dilepas)

 

 

 

 

Kartu 4

( Lagu Indung-indung )

 

Indung –indung kepala lindung

Hujan di udik di sini mendung

Gadis manis pakai kerudung

Mata melirik kaki kesandung

(MENYIMPANG  PAKEM)

 

Malam hari lihatlah bintang

Bersinar terang merah tembaga

Kalau tidak shalat sembahyang

Akhirat nanti mendapat siksa

 

Tuku sapu milih sing dawa

Nek Tuku iwak menyang Kenjeran

Aja seneng ngrasani  kanca

Mula bisa dadi gegeran

 

Ngombe kopi sak cingkir tutup

Kari ademe  ra melu ngombe

Karepe ati sik durung tutug

Kari senenge ra melu nduwe

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN PANTUN

 

2. Pantun yang digunakan  untuk tugas PR

    Selsesaikanlah Pantun berikut ini !

 

Sebatang kayu daunnya rimbun

Lebat buahnya serta bunganya

Walau hidup seribu tahun

………………………………

(pantun nasihat)

 

Bunga melati diserang hama

Petani sedih bukan kepalang

……………………………………….

Agar tidak menjadi pencundang

(pantun nasihat)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Burung nuri burung dara

Taman pesisir taman kayangan

Cobalah  cari wahai Saudara

Makin diisi makin ringan

(pantun teka-teki)

 

 

………………………………

………………………………

………………………………

………………………………

(jawaban pantun teka-teki)

 

 

 

……………………………………

……………………………………

Dalam suka dan duka selalu bersama

Itulah contoh teman sejati

(pantun persahabatan)

 

Kalau ada kembang yang baru

Bunga kenanga dikupas jangan

…………………………………………..

……………………………………………

(pantun persahabatan)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Assalamualaikum Wr.Wb.

Ibu,Bapa, Embak, Kakang,Bulik,Pakde, Adik, dulur..dulur sedoyo mawon.

Sejak Saptu kliwon, legi, pahing, tanggal 28 mAreT 09

saya ngampung NGERUMPI trhough BLOG ini. Boleh kan? …kan.

Kakek -Neneknya anak saya menamai nama ndeso saya DJUPRIYANTO

sebagian teman penggemar campur sari  memanggil nama saya

Kang Jamino.

……apa?  Kenapa kok  jenengan  ingin tahun pekerjaan saya? Pekerjaan saya?

Okelah,….. saya ini  GURU KELILING di Jember lor, kidul, kulon, wetan,

juga yang di tengah.

Sampun nggih, terima kasih. Wassalamualaikum Wr.Wb

OH  PAHLAWANKU,  WAHAI  ANAK-ANAKKU

                                                                                                                              

Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya.

Apakah yang kupunya, anak-anakku

selain buku-buku  dan sedikit ilmu

sumber pengabdian kepadamu.

 

Kalau di hari  Minggu engkau datang ke rumahku

aku takut anak-anakku

kursi-kursi tua yang di sana

dan meja tulis sederhana

dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya

semua padamu akan bercerita

tentang hidupku di rumah tangga

 

Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita

depan kelas, sedang menatap wajah-jahamu remaja

– horizon yang selalu biru bagiku-

karena ku tahu, anak-anakku

engkau terlalu muda

engkau terlalu bersih dari dosa

untuk mengenal ini semua.

                                          

   (Hartojo Andangdjaja)

 

 

”Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabar kalian pagi ini? ”

sapa bu guru dengan ramah  dan suara lembut penuh keibuan, saat pertama kali memasuki ruang ujian itu.

”Selamat pagi Bu,”  jawab anak-anak serempak dengan penuh hormat karena saat menyapa itu  bu guru sambil tersenyum ikhlas.

”Ibu yakin kalian pasti sudah siap menyelesaikan soal  hari ini.   Kenalkan saya adalah Bu Idju dan ini adalah Pak Dwijo. Kami adalah petugas sebagai pengawas ujian di ruang ini dan bersama kalian, kita akan sama-sama bekerja dan berjuang demi kebaikan  kita semua  dengan selalu saling menghormati,”  lanjut Bu Idju dengan senyum bersahabatnya. Dengan trampil dan luwesnya Bu Idju dan Pak Dwijo pelan-pelan, satu-persatu membagikan  soal ujian dan perangkat lainnya  pada murid-murid yang masih terlihat tegang dan resah meskipun bu Idju sudah berusaha menyapanya.

”Sudahlah anak-anak, jangan  tegang begitu, cool and fresh sajalah…..ya. Mudah-mudahan kalian hari ini bisa mengerjakan semua soal dengan baik, syukur kalau semuanya benar,” hibur bu guru sambil terus membagikan naskah soal.

”Amin………….. ,”  seperti koor, suara murid sambil menadahkan  kedua tangan dan diteruskan dengan  berdoa  masing-masing. Sambil terus menuntaskan pekerjaan membagi naskah soal itu, bu guru  berdzikir  dan  bertasbih  pada Allah  agar apa yang dia kerjakan ini sebagai bagian dari pengabdian dan penghambaan pada Illahi karena yang dihadapi dalam ruang ini adalah peserta ujian, murid-murid, anak-anak, yang juga dia anggap seperti anaknya sendiri. ”Subhanallah walhamdulillah walailahailallah hu allahhuakbar”,  begitu dia berdzikir dalam hati melafalkan  tiga kata itu dalam setiap langkah kaki dan  irama lengan tangan saat meletakkan  naskah soal dari meja satu, dua, tiga, sampai meja kedua puluh  tempat para siswa juga bertafakkur seolah mendengarkan dzikir bu guru.

 

”Anak-anak soal sudah di depan kalian semua, demikian  pula lembar  jawabannya,” kata bu guru  dengan suara berwibawa tapi masih tetap bersahabat. ”Kita masih menunggu tanda dimulainya mengerjakan. Kita selesaikan dulu mengisi identitas kalian di lembar jawaban, jangan ada yang salah dan baca sekali lagi sebelum kalian putuskan bahwa semua data isian itu sudah benar. Kalau ada yang masih kurang jelas silakan tanyakan pada kami, ”

kata Bu Idju sambil melihat arloji yang mulai tampak  kusam.

”Ok…. anak-anak tanda mulai mengerjakan sudah dimulai, kerjakan dulu soal yang mudah ya”.

 

Dengan desah nafas sangat dalam bu guru mulai mengedarkan daftar hadir untuk ditanda tangani  peserta ujian. Ia  melangkah pelan-pelan dan hati-hati agar langkah kakinya tidak  menimbulkan suara yang bisa mengganggu konsentrasi murid. Seandainya dia diciptakan mampu memiliki ilmu meringankan tubuh seperti  film-film silat mandarin,  pasti akan ia lakukan  demi ketenangan suasana ujian. Dia sangat paham bahwa ketenangan dan keheningan dibutuhkan saat-saat seperti ini. Kalau perlu siapapun tidak boleh sembarangan memasuki ruang yang dia awasi tanpa tujuan yang jelas, apalagi sekedar  ”melihat-lihat”, lagi pula ini bukan untuk dilihat-lihat. Pengawas ruang memiliki kewenangan penuh atas tugas di ruangnya. Konsentrasi, keamanan, dan ketenangan murid adalah segala-galanya. Itu adalah salah satu bunyi kesimpulan  dalam  Prosedur Operasional Standar  (POS)  yang selalu dia ingat. Dua tahap telah dilalui oleh Bu Idju pada pagi itu, yaitu membagi naskah soal dan melakukan presensi hadir peserta ujian.

 

Saatnya kini Bu Idju dan Pak Dwijo melakukan tugas tahap ketiga, setelah kurang lebih lima belas menit melakukan tahapan tugas sebelumnya,  yaitu duduk manis di bagian depan dalam kelas yang biasanya satu trap lebih tinggi dari lantai  tempat duduk siswa untuk  ”menemani anak-anaknya” berjuang  meraih cita dan citranya. Waktu bergulir dan bergerak terasa sangat lambat bagi  Bu Idju  duduk seperti ini. Saat dan situasi pada tahap ketiga ini dirasakan  sangat berat.  Pada satu sisi harus  menjaga kewibawaan kebijakan yang  telah dituangkan dalam berbagai aturan termasuk dalam POS, tetapi pada sisi lain dia juga menyadari bahwa wajah-wajah resah di depannya adalah  ”anak-anaknya”.

 

Dia membayangkan kalau sampai lembar jawaban yang,  nota bene dikoreksi oleh  malaikat yang bernama komputer – dan itu berarti   tidak pilih kasih dalam menyalahkan, membenarkan, dan menghitung nilai – banyak yang kosong alias tidak bisa dijawab yang pada akhirnya sampai anak-anaknya banyak yang tidak lulus maka betapa sedihnya  anak-anaknya  itu dan juga keluarganya, lebih-lebih bagi Bu Idju sendiri. Dengan  kewaspadaan yang tinggi, dan dengan  tatapan mata kosong Bu Idju menerawang jauh  melambungkan  pikiran dan hatinya  mengadu pada Tuhannya. Pelan-pelan pelupuk mata Bu Idju memerah dan  mulai kelihatan kembang-kembang  air mata. Setengah terisak  Bu Idju mendengar suara lantunan :

Padamu negeri kami berjanji.

Padamu negeri kami mengabdi.

Padamu negeri kami berbakti.

Bagimu negeri jiwa raga kami.

 

Sebagai wanita, Bu Idju  bisa merasakan  bahwa wajah-wajah resah, tegang, dan lelah itu berhari-hari, berminggu-minggu, dan bahkan berbulan-bulan  hati dan perasaan mereka  telah diteror oleh sosok hantu yang bernama ujian. Ujian nasional. Sosok makhluk abstrak tapi nyata yang sangat dibenci oleh  ”anak-anak” ini, meskipun mereka tunggu-tunggu dengan cemas,  telah menggerogoti pikirannya sejak mereka  mengakses di internet, melihat di telivisi, dan  diberitahu oleh gurunya. Sejak itu mereka mulai gelisah. Takut  menghadapi soal yang  dibuat lintas tiga kurikulum, sementara selama mereka  dibelajarkan dengan satu kurikulum. Takut tidak memiliki  peluang  nyontek  pekerjaan temannya  karena paket soal dirancang tidak sama  yang  dibagikan bersilang,  kiri kanan,  muka belakang. Takut tidak bisa  nolah- noleh pada  temannya di ruang ujian karena diawasi  oleh pengawas dari guru lain sekolah. Takut nilai hasil ujiannya tidak mencapai  standar minimal yang disyaratkan. Takut tidak lulus dan harus mengulang tahun berikutnya  karena tahun ini tidak ada ujian ulang. Sosok menakutkan itu sangat dipercaya  kebenarannya oleh anak-anak karena cerita  tentang semua   ”kriteria” keberadaannya  didengar secara langsung di sekolah, di dalam kelas dari guru-gurunya.

 

Mereka juga mulai kebingungan karena beberapa kali dilaksanakan try out sebagian besar hasilnya selalu di bawah standar minimal, sehingga anak-anak sudah frustasi, tidak berdaya, dan tidak percaya diri lagi untuk menghadapi  ”petertempuran”  dengan makhluk menakutkan tadi. Belum lagi di antara mereka juga terdapat keluarga yang secara fisik maupun psikis tidak memiliki kemampuan membantu pertempuran mereka. Mereka merasa  benar-benar sendirian. Bu Idju juga  tahu bahwa pada detik-detik terakhir menjelang pertempuran ada sebagian anak-anak berwajah  kuyu yang duduk berderet di depannya ini ada yang  deg-degan karena  teman-temannya sudah menerima Kartu Tanda Peserta Ujian, tetapi  dirinya belum memiliki kartu itu karena ada  ”persyaratan administratif ” tambahan di luar  ketentuan POS sebagai kebijakan sekolah sebagai salah pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang belum bisa diselesaikan, meskipun pada  akhirnya kartu itu diberikan juga sebelum pelaksanaan ujian dilaksanakan.

 

”Maaf Bu Guru, soal nomor 13  cetakannya kurang jelas ”, kata anak yang duduk di bangku deretan tengah. Lamunan  Bu Idju terhenti dengan pertanyaan anak itu. Dengan tenang tanpa membuat kegaduhan dan dengan ”akting”  yang  simpatik Bu Idju segera  menarik soal itu dan menggantinya  dengan soal  yang baru setelah koordinasi dengan panitia. ”Anak-anak  waktu kalian masih panjang, masih empat puluh menit lagi”, kata Bu Idju mengingatkan dengan suara bijak keibuan.  Setelah itu Bu Idju duduk kembali seperti semula. Diam  dan tenang.

 

Kembali dia membayangkan  apa yang akan terjadi seandainya dia melakukan  sesuatu yang menyebabkan   kegaduhan, kecurigaan, dan kecemburuan  peserta ujian. Pasti itu akan membuat konsentrasi anak-anaknya terganggu, kesal, dan bahkan putus asa. Bu Idju menahan diri untuk  beranjak dari tempat duduknya sekedar cari angin  di pintu kelas  karena  rasa kantuknya, atau ke kamar kecil karena urusan  ”pribadi”  yang sangat penting. Apalagi sampai harus  say hello, atau bahkan sempat bincang-bincang dengan pengawas lain  berbeda ruang ujian.  Ditahannya selama di ruang itu untuk tidak coba-coba menyentuh hand phone yang ada di dalam tasnya. Meskipun ia tahu dari nada getar bahwa ada beberapa panggilan atau sms yang masuk.

 

Sebenarnya ia ingin sekali menelpon rumahnya  mengecek apakah anaknya yang  sedang belajar di T.K sudah pulang atau belum, karena  khawatir akhir-akhir ini televisi dipenuhi dengan berita penculikan balita. Bu Idju juga ingin menghubungi pihak tata usaha sekolah tempat dia mengajar meski  lewat sms untuk menanyakan kejelasan usulan kenaikan pangkat yang belum kelar. Semua itu ditahannya untuk tidak dilakukan semata-mata karena ingin ”menghargai” anak-anaknya sebagai  perwujudan  ikut handarbeni atas  situasi  kejiwaan yang ada. Di samping itu Bu Idju juga  harus menanamkan keteladanan  untuk patuh dan menghormati aturan yang ada. Karena sebagai pengawas pun ia terikat dengan ketentuan yang telah disampaikan berulang-ulang oleh kepala sekolahnya maupun oleh kepala sekolah tempat dia mengawasi dalam rapat pengarahan sebelum pelaksanaan ujian.

 

Sambil berbisik lirih Pak Dwijo memberitahu  Bu Idju bahwa ada dua peserta ujian yang mencoba saling memberitahukan jawaban soal dengan bahasa isyarat karena tempat mereka saling berjauhan. Dengan bijak dan santun Bu Idju memberi isyarat  kepada dua anaknya itu dengan meletakkan telunjuk jarinya di antara dua bibirnya yang tertutup. Dengan ”aura” dan citra diri yang berwibawa itu kedua anaknya diam dan kembali mengerjakan soal.

 

”Ibarat orang berperang, saat inilah kita sedang bertempur”, kata  Pak Sudiro sebagai ketua subrayon saat memberi pembekalan kepada para pengawas ujian. Pak Sudiro melanjutkan, ”Cuma sayangnya musuhnya adalah  peserta ujian, murid-murid kita, dan itu berarti adalah anak-anak kita juga. Karena itu kita harus bijak dan bisa menempatkan diri. Senjata boleh kita kokang dan arahkan kepada anak-anak. Kalau dirasa ada pelanggaran dan perlu menembak, beritahu dulu bahwa  Bapak/Ibu pengawas ini mau menembak, kemudian  ”ditakut-takuti”  akan ditembak, bila tidak mempan silakan diberi tembakan ke udara sebagai peringatan, masih juga anak-anak kita itu bandel bisa ditembak dengan menggunakan peluru  karet. Bila masih saja melanggar maka Bapak/Ibu bisa menggunakan peluru tajam. Tapi ingat bahwa menggunakan peluru tajam sebagai langkah terakhir dan mematikan harus seijin saya dulu, karena sayalah komandan yang pegang kendali”, kata Pak Sudiro memberi perumpamaan. Dengan perumpamaan itulah Bu Idju mencoba mengatasi hal yang paling sulit dihadapi seorang pengawas saat melaksanakan tugasnya.

 

”Anak-anak waktu telah  habis, silakan  teliti yang terakhir kalinya pada semua  bagian yang harus kalian isi di lembar jawaban, setelah itu tinggalkanlah ruang ini. Tinggalkanlah  naskah soal dan lembar jawaban di bangku masing-masing”, merdu suara Bu Idju mengagetkan anak-anaknya untuk segera meninggalkan ruang ujian. ”Alahmdulillah hi robbill alamin”, kata Bu Idju lirih sambil menghela nafas panjang seolah-olah terbebas dari beban yang sangat berat.  Dengan tenang, teliti, dan hati-hati Bu Idju dan Pak Dwijo mengumpulkan lembar-lembar naskah jawaban dan naskah soal dengan tak henti-hentinya melafalkan kalimat hamdalah dalam hati karena  pekerjaan berat hari ini bisa dilalui dengan baik.

 

Pada saat Bu Idju menyerahkan hasil kerjanya di ruang pengawas, ternyata teman-teman guru yang lain sudah berada di ruang itu. Mereka gaduh dan, ribut, bahkan ada  yang  histeris menjerit  atas apa yang mereka saksikan di layar televisi yang ada di ruang itu. ”HARI TERAKHIR UNAS BERAKHIR RICUH”,  demikian  Headline News di salah satu stasiun televisi sedang menyiarkan  liputan terjadinya pemukulan terhadap pengawas ujian oleh sebagian siswa, bahkan  juga  perusakan kaca dan jendela sekolah. Ditayangkan juga dua orang  pengawas yang dievakusai dari kamar mandi oleh petugas  keamanan karena dikepung oleh siswa-siswa yang ngamuk. Dalam berita itu dijelaskan bahwa  kejadian itu dipicu ketidakpuasan siswa yang merasa dirugikan oleh ketatnya pengawasan yang dilakukan  pengawas ujian di ruang mereka. Bu Idju dengan wajah merah menahan haru dengan cepat menyelesiakan urusannya dan segera keluar dari ruang pengawas. Untuk kesekian kalinya Bu Idju mengucapkan kalimat hamdalah dan beristighfar.

Sambil berlalu dari uang itu Bu Idju masih bisa mendengar komentar temannya. ”Wah siswa – siswa ini bila lulus layak masuk ke  kampus Jatinangor,”  kata guru yang sejak  awal menyaksikan tayangan itu. ”Edyaan.. ini benar-benar edyaan, ada murid yang sudah  tega-teganya memukul guru, dan merusak sekolahnya sendiri, walah biyung…. walah Gusti  paringi slamet, mudah-mudahan itu tidak terjadi di sini,” sela  bu guru yang berjilbab gemetaran dan cepat-cepat minum air putih.

 

”Bisa jadi berita ini memang benar, tidak mungkinlah sampai ada murid  yang  mentolo ngantem kayak gitu kalau tidak ada sebab musababnya, apalagi hari terakhir ini kan ujian bahasa Inggris  yang di dalamnya ada ujian listening yang benar-benar perlu konsentrasi dan ketenangan”, celetuk pak guru yang tambun sambil memegang kotak kue konsumsi. ”Ah… sampean  semua  keliru ”,

kata guru yang mulai tadi terlihat  tenang-tenang saja. ”Coba mari kita cermati berita  tadi,  kejadian dan keberanian siswa-siswa kan karena mereka selama ini diajari pencak silat di sekolahnya”, seloroh guyonannya sambil tertawa. ”Tapi hebat loh, dia mendapat

”penghargaan sebagai pahlawan ” secara langsung dan tiba-tiba, katanya  melanjutkan.

 

Ya, Bu Idju mendengar semua komentar teman-temannya. Bagi dia mencari dan mendebatkan penyebab masalah tidak akan membuat selesai persoalan. Dalam hati dia berdoa agar semua pihak yang terlibat dan terkait dalam persoalan itu segera bertemu dan berbicara dari hati ke hati, berbicara sebagai  orang dewasa, antara sesama guru dari dua sekolah, antara guru dan murid layaknya antara orang tua dan anak, berbicara dengan menggunakan bahasa pendidikan, serta berbicara sebagai sesama muslim  dengan mewarisi nilai – nilai luhur islami  yang selalu  saling mengaku bersalah  ketika sedang  bertikai.  Dalam perjalanan pulang di atas motor  ngampung nunut teman searah perjalanan lagi-lagi Bu Idju mendengar lantunan  nan jauh dari relung dadanya:

 

 

 

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

S’bagai prasasti trima kasihku ‘tuk pengabdianmu

 

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa  tanpa tanda jasa.

 

                                          Djup,   Pasca  Unas   SMA,  April  2007,